Sabtu, 15 Februari 2014

Menanti Sabda Gunung Kelud

Mengapa bunga harus layu?
setelah kumbang dapatkan madu,
mengapa kumbang harus ingkar?
setelah bunga tak lagi mekar”.
(Bunga-Bunga Kumbang-Kumbang - album Iwan Fals Ethiopia 1986)

Pemilu tinggal beberapa saat lagi. Rakyat akan menentukan siapa yang menjadi pemimpinnya selama 5 tahun. Berbagai cara mulai dilakukan untuk menarik simpati. Saling sikut dan kritik, juga hingga puja-puji – layaknya doa pada Tuhan – mulai terdengar di sana-sini. Atmosfer politik kian memanas. Tensi meningkat.


Bersamaan dengan itu, alam pun tak mau kompromi. Gunung Kelud memuntahkan isi perutnya. Jutaan kubik material diseburkan ke udara. Sebagian langit Jawa nampak pucat dalam sekejap. Debu bertebaran sejauh tiupan angin. Sawah dan ladang tertutup abu. Ribuan orang meninggalkan kampung.

Sedikit bernostalgia.

Gunung Kelud punya sejarah yang menarik. Meskipun gunung ini kalah populer dibanding Merapi – yang memunculkan Mbah Maridjan sebagai juru kunci – ia punya pertanda tersendiri bagi negeri ini. Mungkin ini konyol: menghubungkan bencana dan politik. Tapi bisa juga alam sementara menyiapkan Indonesia menyambut pemimpin yang baru. Itupun kalo kita setuju bahwa alam dan manusia memiliki bahasa sendiri dalam berkomunikasi.

Apa pasalnya?

Sejarah mencatat: dua pemimpin besar lahir beriringan dengan letusan yang memiliki tipe stratovulkan itu. Pertama adalah Hayam Wuruk pada tahun 1334. Raja keempat kerajaan Majapahit itu lahir setelah letusan Gunung Kelud. Kedua adalah Soekarno, yang lahir 2 minggu setelah letusan Gunung Kelud pada tahun 1901.

Kini setelah meletus tepat pada tahun politik, mungkinkan ia mengawalinya lahirnya seorang pemimpin yang baru? Sudah pasti: iya. Pemimpin Indonesia yang baru akan dilahirkan oleh masyarakat beberapa saat lagi. Hanya saja, boleh ditanya apakah pemimpin yang lahir itu punya keistimewaan seperti Hayam Wuruk dan Soekarno.

Hayam Wuruk lahir dari pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana. Pada usianya yang ketujuhbelas tahun, Hayam Wuruk diangkat menjadi raja Majapahit yang keempat. Dibawah kepemimpinan Hayam Wuruk, Majapahit adalah kerajaan yang tangguh. Hampir seisi nusantara pernah ia taklukan dengan seorang Patih yang perkasa: Gadjah Mada. Kekuasaannya luas.

Tak hanya kekuatan perang, kepemimpinan Hayam Wuruk juga menghasilkan dua karya intelektual: kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) ditulis oleh Mpu Tantular dan Kitab Nagarakretagama ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Singkatnya, Majapahit memperoleh masa kejayaannya pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk.

Lain lagi dengan Soekarno. Soekarno dilahirkan oleh pasangan Radeon Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Sarjana teknik sipil lulusan Technische Hoogeshool te Bandoeng (sekarang ITB) ini kelak tumbuh dan menjadi seorang pemimpin besar. Tak usah panjang lebar mengurai jejak Soekarno. Toh, entah berapa banyak buku yang telah ditulis tentang sosok revolusioner itu. Gagasan dan pemikirannya masih diperbincangkan hingga kini, lengkap dengan kontroversi yang menyertainya. Sampai sekarang, Indonesia belum lagi memiliki pemimpin sekelas Soekarno; meskipun dulu SBY sempat dielu-elukan sebagai titisan Soekarno. Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno dan wakilnya, Hatta, berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebuah capaian yang tidak lagi mungkin bisa dicapai oleh pemimpin saat ini. Indonesia dalam masa kepemimpinan Soekarno juga adalah sebuah negara yang disegani.

Soekarno punya segudang pemikiran brilian yang mengantarnya memperoleh berbagai gelar akademik dari berbagai universitas di dalam maupun luar negeri. Buku-buku dan kumpulan pidatonya terus dibaca generasi sekarang. Marhaenisme adalah ideologi hasil pemikiran Soekarno yang menjadi dasar bagi organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Tengoklah, setelah Soekarno, tak ada lagi pemikir Indonesia dengan gagasan sebesar itu. Abaikan alasan bahwa twitter hanya sanggup menampung 140 karakter setiap kicauan. Sedangkan google bisa merekomendasikan 10 pilihan setiap mengetik 1 kata kunci. Jelasnya, Soeakarno adalah icon pemimpin yang punya kharisma dan gagasan besar.

Kini setelah gunung Kelud kembali meletus, akankah Indonesia punya harapan – meskipun terkesan mistis – untuk memiliki pemimpinan sekelas Hayam Wuruk atau Soekarno? Ini bukan soal romantisme sejarah atau politisasi musibah. Hanya sedikit berandai-andai: andai sejarah bisa terulang. Tak ada salahnya, jika itu tentang harapan akan masa depan bangsa. Sebuah bangsa yang kaya akan budaya dan kekayaan alam.

Tapi asa tetap harus terus dipupuk: bahwa kelak Gunung Kelud akan melahirkan pemimpin Indonesia yang besar. Pemimpin yang tak hanya pandai menjual citra. Tak hanya pandai beriklan. Bukan pemimpin yang ingkar setelah kuasa jadi milik; setelah madu usai terhisap. Tapi pemimpin yang punya gagasan besar untuk Indonesia yang kaya. Kapan persisnya..? Tanyakan pada rumput yang bergoyang, lirih Ebit G. Ade.

Pilihan memang tetap harus dibuat. “The future depends on what you do today, kata Mahatma Gandhi.

dicopy paste dan diedit sedikit dari : Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar